Ada banyak pertanyaan diluar sana mengenai babi yang kemudian rentan menjadi sebuah perdebatan prinsipil dan berujung pada rasisme. Alasannya adalah karena agama, dan bagi seseoarang yang beragama perintah dan larangan itu sudah cukup jadi alasan mengapa sesutu mesti boleh dan tidak boleh. Tapi apa itu cukup melegakan dahaga, atau malah memunculkan tanya besar selanjutnya?
Barang kali memang penting untuk menelusuri alasan mengapa sesuatu seperti babi diharamkan oleh suatu agama. Mengapa beberapa agama tertentu tidak boleh makan babi? Mengatakan hal itu dosa tidak akan menjawab pertanyaan, tapi hanya akan memancing pertanyaan yang lebih sulit untuk dijawab jawab: “Mengapa dosa? Mengapa bagi agama lain tidak? Apakah tuhan kita beda?” Pertanyaan kritis seperti ini tidak mungkin dijawab dengan menggunakan “golden rule” semacam “Perlakukan orang lain sebagaimana dirimu ingin diperlakukan.” hanya bisa menjawab pertanyaan tentang larangan-larangan agama dalam mengatur perilaku sosial manusia, dan itu dianggap tidak relevan dengan pentabuan jenis makanan. Sekarang, menurut penulis (Hendy Wijaya) setelah membaca beberapa buku sejarah dan antropologi, setidaknya ada alasan dari aspek sejarah dan kultur masyarakat yang nampaknya selaras.
Kalau perilaku kanibal dan ritual-ritual keagamaan dianggal memiliki alasan yang rasional membenarkan di baliknya, barangkali pentabuan jenis-jenis makanan tertentu seperti daging sapi bagi pemeluk agama Hindu di India, daging babi bagi pemeluk agama Yahudi dan agama Samawi turunannya, atau bahkan pentabuan seluruh jenis produk hewani seperti beberapa aliran dalam agama Hindu dan Buddha, juga memiliki rasionalisasi materialistik di baliknya yang terlepas dari unsur-unsur spiritual? Atau dengan kata lain memiliki alasan yang lebih “membumi” daripada penjelasan-penjelasan spiritual tentang perintah dan kehendak ilahiah.
Berawal dari kebutuhan manusia sebagaimana mahluk hidup pada umumnya yang akan merasakan lapar, ada lapar saat seseorang belum makan dan ada lapar karena tuntutan nutrisi, protein misalnya tidak hanya sebagai zat pembangun tubuh tapi kekurangannya juga menekan rasa lapar, sensasi lapar yang ditekan oleh kosentrasi protein dalam makan adalah suatu karakter yang terseleksi selama evolusi nenek moyang karena fungsinya yang vital.
Lalu Ada asupan protein dengan asam amino tertentu dari luar yang tidak bisa disintesis oleh tubuh sebagai bagian dari bukti evolusi, hilangnya kemampuan tubuh untuk mensintesis atau sebuah bukti hubungan saling menguntungkan dengan alam, sehingga dikenal sebagai asam amino yang “esensial” yang diperlukan dari luar secara kontinyu.
Contohnya: Mengapa kita seringkali masih merasa lapar setelah mengkonsumsi mie instan? “Lapar protein” sebab kandungan protein di dalam mie instan sangat minim. Hal itu tidak akan terjadi kalau kita mengkonsumsi makanan yang tinggi protein seperti daging atau telur.
Untuk mencukupi kebutuhan esensial tersebut yang bertambah banyak, maka sebuah peradaban perlu melakukan intensifikasi produksi pangan yang bisa dicapai melalui bercocok tanam dan beternak hewan untuk diambil dagingnya.
Bercocok tanam sebenarnya lebih efisien dalam hal produksi energi tetapi manusia membutuhkan daging dan tidak semua tumbuhan dapat menjadi tanaman yang dapat dikonsumsi manusia.
Tanaman mampu menyerap 4% energi matahari melalui proses fotosintesis untuk menghasilkan bahan pangan. Dan hewan mengambil energi dari tanaman, hitungannya hanya 5% energi yang diserap dari jumlan energi yang diserap oleh tanaman dari proses potosintesis atau sekitar 0,2% yang akan dikonversi menjadi energi yang bisa dipanen dalam bentuk daging. Dua puluh kali lebih sedikit, artinya, makanan/tanaman yang diberikan kepada hewan ternak untuk menyuplai daging 1 orang sebenarnya setara dengan memberi makan 20 orang dalam bentuk energi dalam tanaman.
Ada “perantara” intensifikasi produk pangan yang memberatkan dalam rantai makanan antara tanaman ke manusia yaitu kebutuhan sumber hewani. Pilihannya adalah masyarakat harus memilih antara menggunakan lahannya untuk memberi makan orang atau hewan.
Solusinya harus ada kesetimbangan antara produksi kalori dan produksi protein. Dan jenis hewan ternak sangat berperan penting dalam menentukan titik keseimbangan itu.
Perlu diketahui, di masa lampau babi adalah hewan yang sangat efisien mengkonversi pakan menjadi kalori dan protein dalam bentuk daging. Ia bahkan lebih efisien daripada sapi, kambing, dan ayam. Untuk setiap 100 kg pakan yang diberikan kepadanya, 20 kg akan menjadi daging, sedangkan sapi hanya 7 kg. Dari segi rasa, daging babi juga lebih enak. Selain itu, satu kilogram daging babi lebih banyak mengandung kalori daripada sapi. Lalu apa alasan materialistik yang membuatnya dijauhi dalam tradisi kultur masyarakat di timur tengah?
Aspek Fisiologi
Babi adalah hewan omnivora, ia memakan hampir semua jenis bahan pangan, mulai dari rumput, buah, biji-bijian, serealia, dan, umbi-umbian. Berbeda dengan sapi yang merupakan hewan herbivora, pemakan rumput. Sementara sapi bisa hidup dan tumbuh normal dengan hanya memakan rumput, babi tidak. Babi memerlukan pasokan serealia dan biji-bijian agar tumbuh normal, padahal serealia yang sama bisa menyuplai bahan pangan bagi manusia. Kalau bahan pangan yang dihasilkan melalui proses bercocok tanam diberikan kepada babi agar dikonversi menjadi daging alih-alih langsung diberikan pada manusia, maka ada potensi kehilangan efisiensi konversi energi yang sangat besar, intensifikasi produk makanan yang semakin besar.
Bagaimana sapi dan hewan ternak lain seperti kambing? Meskipun efisiensi konversi energi oleh sapi dan kambing jauh di bawah babi, tapi sapi dan kambing memakan makanan yang tidak dimakan oleh manusia. Mereka murni mengkonversi makanan yang tidak bisa dimakan oleh manusia menjadi daging yang bisa dimakan. Tidak ada konflik perebutan sumber pangan antara manusia dengan sapi atau kambing.
Lebih jauh lagi, sapi memiliki nilai ekonomis lain selain diambil dagingnya. Mereka bisa diperah susunya, menarik gerobak, atau membajak sawah. Ayam, meskipun makan serealia yang sama seperti babi, namun selain diambil dagingnya, ayam bisa juga bertelur. Babi tidak menarik gerobak, tidak menghasilkan susu, tidak bisa dipakai tenaganya untuk membajak sawah, apalagi bertelur. Nilai ekonomi babi murni dinilai dari dagingnya.
Selain itu, beternak babi itu membutuhkan lebih banyak air daripada ayam dan sapi. Babi adalah hewan yang tidak memiliki kelenjar keringat. Ketika hidup di lingkungan yang kering dengan suhu udara yang panas, mereka akan berusaha membuang panas tubuhnya dan mencegah penyerapan panas dari lingkungan dengan cara berguling-gulung di lumpur atau urin dan fesesnya sendiri jika tidak ada lumpur. Ia membutuhkan air tidak hanya sebagai air minum, tapi juga sebagai pendingin tubuhnya. Sebagai perbandingan, untuk memproduksi 1 kilogram daging ayam diperlukan 3500 liter air, sementara babi memerlukan 6000 liter air.
Bagaimana gambaran sifat-sifat hewan di atas bisa menjawab misteri pentabuan babi bagi masyarakat timur tengah? Lingkungan timur tengah adalah lingkungan yang kering dan panas. Di dalam lingkungan yang panas dan kering, hasil pertanian tidak berlimpah dan sumber air tidak banyak. Memberikan sumber daya alam berupa hasil bumi dan air kepada babi hanya akan memuaskan segelintir orang saja. Secara ekologis, beternak babi di lingkungan semacam itu membawa dampak negatif yang lebih besar daripada manfaatnya bagi standar hidup seluruh masyarakat. Sehingga barangkali daging babi hanya berakhir menjadi makanan mewah bagi kelompok elit, sementara rakyatnya kelaparan. Rakyat yang lapar bisa mengguncang stabilitas politik. Sederhananya Konsumsi daging babi tidak bisa berdiri berdampingan dengan stabilitas politik bagi bangsa timur tengah di masa lampau.
Aspek Sejarah, Kapan daging babi mulai diharamkan?
Pentabuan daging babi sebenarnya tidak hanya berlaku di masyarakat Yahudi dengan agama Yahudinya atau masyarakat setelahnya dengan agama Samawi derivatnya, tapi jauh sebelum itu. Bangsa Sumeria dan Babilonia memandang rendah para pemakan dan peternak babi. Babi hampir tidak pernah digunakan sebagai hewan kurban di kuil-kuil mereka. Hanya ada satu ritual relijius yang melibatkan pengorbanan babi, yaitu ritual pengusiran setan. Babi dianggap sebagai “medium” yang disukai setan dalam ritual pengusiran setan orang-orang Assyria. Dari data arkeologis, bahkan orang-orang Mesir yang merupakan musuh bebuyutan orang Israel pun memandang babi sebagai jelmaan dewa Seth, dewa kekacauan, perang, dan badai. Konsumsi daging babi mengalami penurunan seiring pertambahan jumlah penduduk di bangsa-bangsa timur tengah yang wilayahnya didominasi gurun pasir. Beberapa tradisi kultural bahkan mengharamkannya secara total seperti kultur masyarakat Yahudi di wilayah Yudea dan Samaria.
Hal ini sebenarnya ironis, sebab peradaban yang pertama kali mendomestikasi babi adalah peradaban Mesopotamia yang berada di wilayah timur tengah sekitar 10.000 tahun lalu. Namun pada akhirnya mereka sendiri yang mentabukannya seiring dengan pertumbuhan penduduk dan semakin tandusnya lingkungan mereka akibat intensifikasi lahan pertanian yang tak terkendali. Bukan sebuah kebetulan kalau tradisi pentabuan babi mulai marak di peradaban timur tengah ketika hasil bumi mereka makin merosot akibat salinasi tanah pertanian.
Dengan fakta sejarah ini, alasan utama pentabuan babi barangkali awalnya bukan karena jorok, faktanya masyarakat timur tengah yang menternak dan memakan dagingnya sejak awal. Label menjijikkan mungkin hanya bisa menjelaskan pentabuan jenis-jenis hewan tertentu lain seperti biawak, landak, kadal, dan katak. Hewan-hewan itu memang tidak pernah menjadi bagian dari bahan pangan pokok peradaban manusia awal.
Lalu bagaimana dengan hewan-hewan lain yang diharamkan, misal seperti hewan berkuku tajam yang disebut-sebut dalam kitab Taurat tidak boleh dimakan? Hewan berkuku tajam jelas merujuk pada hewan-hewan karnivora seperti anjing dan kucing. Menternak hewan karnivora untuk dimakan dagingnya adalah pemborosan sumber daya yang jauh lebih parah lagi daripada beternak babi. Sebab mereka hanya akan tumbuh dan berkembang biak dengan makan daging yang sebenarnya bisa dimakan manusia. Beternak hewan karnivora untuk dimakan dagingnya berarti kita perlu menambahkan dua mata rantai lagi ke dalam rantai makanan antara tanaman ke manusia.
Lalu Agama Mengharamkan
Pertanyaannya adalah kalau masyarakat zaman lampau menyadari bahwa beternak babi dan hewan karnivora itu adalah pemborosan sumber daya yang mengancam ketahanan pangan, untuk apa lagi dimasukkan ke dalam aturan agama? Untuk apa melarang sesuatu yang jelas-jelas merugikan? Pencurian dan perampokan juga adalah sesuatu yang tidak disukai masyarakat, toh juga dimasukkan ke dalam larangan agama.
Jawabannya, agama datang memberi hukum yang sudah pasti sebab pada dasarnya manusia mudah tergoda ke dalam sesuatu yang membawa kenikmatan meskipun tahu hal itu akan merugikan masyarakat. Daging babi cenderung lebih enak, lebih banyak kalori, dan relatif lebih mudah diternakkan daripada hewan ternak lain. Namun karena menternaknya memberi risiko yang lebih beaar maka melarang konsumsinya secara total adalah langkah yang rasional.
Di peradaban lampau, agama adalah sumber ideologi dan hukum yang menata kehidupan masyarakat. Tidak ada batasan yang jelas antara sistem hukum dan agama. Ajaran agama adalah sumber hukum. Pelanggaran terhadapnya akan mendatangkan hukuman yang konkrit bagi individu di dunia, bukan sekadar hukuman spiritual di kehidupan setelah kematian. Ancaman hukuman spiritual berfungsi untuk mencegah orang melanggarnya di sudut-sudut ruang yang tersembunyi. Disini kita juga menemukan jawaban Tuhan maha tau apa yang tidak kita ketahui, pelarangan mengkonsumsi babi adalah alasan yang adil.
Tinggalkan komentar