Air asam tambang merupakan air dengan tingkat keasaman tinggi (nilai pH kurang dari 5) yang dihasilkan dari proses pertambangan sebagai hasil dari oksidasi mineral sulfida yang terkena udara dengan kehadiran air. Air asam tambang juga dikenal denganAcid Mine Drainage(AMD) atau Acid Rock Drainage (ARD) dalam dunia pertambangan. Seringkali istilah AMD diasosiasikan dengan kegiatan pertambangan batu bara sedangkan istilah ARD digunakan dalam kegiatan pertambangan bijih lainnya.
Kegiatan pertambangan adalah faktor utama dalam pembentukan air asam tambang karena dalam prosesnya banyak dilakukan penggalian yang menyebabkan tersingkapnya mineral sulfida ke permukaan sehingga dapat terpapar dengan udara, air, dan mikroorganisme.Saat ini, isu tentang air asam tambang telah menjadi perhatian dunia karena dampaknya terhadap lingkungan sehingga banyak dilakukan usaha-usaha untuk pencegahan dan pengolahannya.Usaha-usaha tersebut dilakukan dengan pengadaan seminar-seminar maupun dengan pembentukan aturan-aturan pertambangan guna mencegah terbentuknya air asam tambang.
Fenomena air asam tambang sebenarnya telah diketahui sejak dahulu kala.Terbukti pada tahun 3000 SM pertambangan dan pengolahan tembaga di Iberian Pyrite Belt (Eropa) telah menimbulkan air asam tambang.Kemudian Agricola dalam bukunya De Re Metalica (1556) telah menuliskan dampak air asam tambang dari kegiatan pertambangan dan pengolahan bijih yang mengandung mineral sulfida. Namun perhatian yang serius baru berkembang sekitar tahun 1970-an seiring dengan mulai tumbuhnya kesadaran manusia akan pentingnya pelestarian lingkungan. Sejak saat itu berbagai pengetahuan tentang air asam tambang dikembangkan termasuk pengembangan motode-metode uji serta metode-metode penanganannya sendiri. Metode uji digunakan untuk mengidentifikasi potensi akan terbentuknya air asam tambang sehingga dapat dilakukan pencegahan lebih dini. Sedangkan metode penanganan dilakukan untuk mengolah air asam tambang yang telah terbentuk. Metode penanganan ini sangat perlu dilakukan karena kasus air asam tambang juga masih banyak ditemui dari tambang-tambang yang telah ditutup.
Walaupun demikian, penanganan air asam tambang tidaklah mudah bahkan sangat sulit. Pembentukan air asam tambang merupakan proses kontinyu sampai salah satu dari reaktannya benar-benar habis. Pengalaman dari berbagai kasus di dunia, masalah air asam tambang ini dapat berdampak dalam jangka waktu yang sangat panjang (puluhan bahkan sampai ratusan tahun).Oleh karena itu, pemahaman terhadap resiko terbentukknya air asam tambang dari suatu kegiatan pertambangan sangatlah penting.Pengelolaan yang baik saat ini belum cukup handal untuk mencegah terjadinya pembentukan air asam tambang dalam waktu yang lama. Tidak ditemukannya kasus air asam tambang pada berbagai tambang yang telah beroperasi saat ini tidak menjamin air asam tambang tidak akan terbentuk kedepannya sehingga perlu diteliti potensi terbentukkya air asam tambang dengan karakterisasi geokimia batuan (kecuali secara geologis tidak memungkinkan adanya mineral sulfida). Dengan demikian harus disadari bahwa pencegahan terhadap terbentuknya air asam tambang hendaknya dilakukan sejak eksplorasi hingga pascatambang.
Pembentukan Air Asam Tambang
Air asam tambang dapat terbentuk dengan adanya mineral sulfida, air, dan oksigen serta mikroorganisme Acidithiobacillus ferroxidans sebagai katalis. Semua faktor tersebut paling sering dijumpai dalam kegiatan pertambangan.Beberapa jenis mineral sulfida yang sering dijumpai di wilayah pertambangan disajikan dalam tabel berikut.
Tabel. 5.1 Mineral Sulfida dalam Pertambangan
Dari semua mineral sulfida yang disebutkan di atas, pyrite merupakan mineral sulfida yang paling reaktif dalam pembentukan air asam tambang dibandingkan dengan mineral-mineral sulfida yang lainnya. Ini dikarenakan molar metal/sulfur rasio dari pyrite kurang dari 1 (Gautama, 2012).Pada pertambangan batubara, mineral pyrite biasanya terdapat di dalam sedimen terutama di lapisan atas (roof) dan lantai (floor) batubara, serta pada pengotor di lapisan batubara. Jumlah kandungan sulfur yang ada dalam batubara tidak selalu berkorelasi langsung, artinya walaupun batubara memiliki kandungan sulfur rendah, bukan berarti batu bara tersebut tidak berpotensi dalam pembentukan air asam tambang. Pada pertambangan bijih, potensi terbentuknya air asam tambang sering terdapat pada bijih yang dapat berkorelasi dengan mineral sulfida seperti bijih tembaga, emas, timbal, dan seng (Gautama, 2012).
Reaksi Pembentukan Air Asam Tambang
Dalam proses pembentukan air asam tambang, produk yang dihasilkan dari reaksi oksidasi sulfida adalah keasaman, spesies sulfur, bahan terlarut total (TDS), dan logam. Produk keasaman tergantung pada jenis mineral sulfida yang teroksidasi, mekanisme reaksi (pengaruh oksigen dan ion feri sebagai oksidan), dan kehadiran spesies pengkonsumsi asam seperti karbonat dan aluminosilikat. Jenis spesies sulfur yang dihasilkan dari proses oksidasi sulfida ini adalah sulfat. Selanjutnya TDS secara langsung berkorelasi dengan jumlah sulfat, klorida, atau bikarbonat di dalam air.Yang terakhir adalah logam yang dihasilkan berasal dari sulfida yang teroksidasi dan pelarutan dari mineral pengkonsumsi asam.
Secara umum, tahapan pembentukan air asam tambang ditunjukkan pada persamaan reaksi kimia di bawah ini.
Reaksi pertama pada proses pembentukan air asam tambang adalah reaksi pelapukan pyrite yang disertai dengan proses oksidasinya menjadi besi fero dan sulfat. Dari setiap mol pyrite yang teroksidasi akan dihasilkan dua mol keasaman. Secara rinci reaksi yang terjadi adalah:
2FeS2(s) + 7O2 + 2H2O → + Fe2+ + 4H+ …[1]
Reaksi ini dapat terjadi secara bolak-balik pada kondisi abiotik maupun biotik. O2 yang terlarut di dalam air juga dapat mengoksidasi pyrite tetapi kurang begitu penting dikarenakan kelarutannya sangat terbatas. Selain dapat teroksidasi secara langsung, pyrite dapat juga terlarut terlebih dahulu baru kemudian teroksidasi.
FeS2(s) + 14Fe3+ + 8H2O → + 15Fe2+ + 16H+ …[2]
Ion feri juga dapat mengoksidasi pyrite dengan kecepatan yang lebih tinggi (2-3 kali) dibandingkan oksidasi oleh oksigen serta menghasilkan jauh lebih banyak mol keasaman dari setiap mol pyrite yang teroksidasi. Namun reaksi ini terbatas pada kondisi dimana terdapat jumlah yang cukup dari ion feri (kondisi asam). Artinya reaksi ini akan terjadi ketika reaksi pertama telah berlangsung karena ion fero yang dihasilkan akan dikonversi menjadi besi feri dengan mengkonsumsi satu mol asam setiap mol fero.
4Fe2+ + O2 + H+ → 4Fe3+ + 2H2O …[3]
Laju reaksi yang terjadi pada proses ini lambat dalam kondisi abiotik walaupun pH kurang dari 5. Kehadiran bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans dapat mempercepat laju reaksi sampai dengan 6 kali. Dalam reaksi ini juga diperlukan oksigen untuk mengoksidasi ion fero menjadi ion feri.
Selanjutnya, ion feri yang dihasilkan dapat mengalami oksidasi dan hidrolisa membentuk feri hidroksida serta menghasilkan dua mol keasaman di setiap mol feri. Pembentukan presipitat feri hidroksida ini tergantung terhadap pH, yaitu lebih banyak terjadi pada pH di atas 3,5.
Fe3+ + ¼ O2 + 5/2 H2 → Fe(OH)3 ↓ + 2H+ …[4]
Secara keseluruhan reaksi pembentukan air asam tambang dengan adanya pyrite, oksigen, dan air dapat diperhatikan pada reaksi di bawah ini.
FeS2+ + 15/4 O2 + 7/2 H2O →2SO4↑2- + Fe(OH)3 ↓ + 16H+ …
Jika diperhatikan keseluruhan tahap pembentukan air asam tambang di atas, pada awalnya tingkat keasaman yang terbentuk tidak terlalu tinggi, namun dengan terbentuknya keasaman tersebut, maka akan menginisiasi reaksi selanjutnya yang akan menghasilkan keasaman lebih banyak. Dengan demikian reaksi ini akan terus berlangsung dalam waktu yang sangat lama sampai salah satu reaktan benar-benar habis.
Gambar 5.1 Tahapan dalam pembentukan air asam tambang
Keasaman yang dihasilkan dapat dinetralisasi dengan spesies pengkonsumsi asam seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Reaktivitas dan efektivitas penetralan asam bisa sangat beragam tergantung dari pengkonsumsi asamnya dan biasanya mineral silikat kurang reaktif. Reaksi dasar dalam proses penetralan asam dijelaskan dalam persamaan reaksi berikut:
MeCO3 + H+ → Me2+ +HCO3-
Dimana Me adalah suatu kation divalen seperti Ca dan Mg tetapi bukan Fe dan Mn. Selanjutnya salah satu contoh penetralan asam oleh pelarutan karbonat adalah sebagai berikut:
CaAl2Si2O8 + 8H+ → Ca2+ + 2Al3+ +2H2SiO4
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Air Asam Tambang
Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan, migrasi, dan dampak potensial terhadap penerima air asam tambang yaitu faktor-faktor yang mengatur laju reaksi oksidasi sulfida dan faktor-faktor yang mengubah komposisi air penyaliran tambang (mine waste) sebelum ataupun setelah keluar tambang atau fasilitas pengolahan.
Gambar 5.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi oksidasi sulfida dan perubahan komposisi air penyaliran
Faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi oksidasi sulfida dalam pembentukan air asam tambang terdiri dari faktor fisika dan kimia serta faktor biologis. Faktor fisika dan kimia yaitu jenis, luas permukaan, enkapsulasi, bentuk kristal, dan morfologi dari mineral sulfida, selanjutnya pH, potensial redoks, suhu, sumber air lingkungan sekitar, dan jenis (oksigen dan ion feri) serta ketersediaan oksidan.
Faktor biologis juga dapat mempengaruhi laju reaksi dari oksidasi sulfida yang ditandai dengan kemampuan bakteri Acidithiobacillus ferrooxidans dalam mengkatalis oksidasi sulfida dan ion fero.Acidithiobacillus ferrooxidans adalah bakteri aerobik autotrop yang membutuhkan oksigen dan harus mereduksi CO2 menjadi karbon org anik untuk menghasilkan biomassa. Bakteri ini dapat bekerja pada suhu optimum yaitu 35oC dalam kondisi asam (pH antara 1,5-3,5). Bakteri lainnya adalah Acidithiobacillus thioooxidans walaupun hanya mampu sebagai katalis oksidasi sulfur. Aktivitas bakteri-bakteri tersebut ditentukan oleh densitas maupun laju pertumbuhan populasinya yang berhubungan langsung dengan ketersediaan karbon (dalam bentuk karbon dioksida), ketersediaan donor elektron (besi fero atau sulfur), ketersediaan nutrien (nitrogen dan fosfor) sebagai bahan produksi biomassa, ketersediaan oksigen, dan temperatur yang optimum (dibawah 70oC).
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi air penyaliran tambang terdiri dari faktor utama seperti pH, kondisi redoks, komposisi kimia dari air penyaliran, pembentukan mineral sekunder, penyerapan (adsorption), reaksi penetralan, dan fotokimia.Faktor lainnya adalah faktor fisika seperti kondisi iklim, hujan, pergerakan air serta suhu dan faktor biologi seperti ekologi serta kinetika pertumbuhan mikrobial.
Prof.ir surya hadi Ph.D
Tinggalkan komentar