10.4 Energi Kinetik Rotasi
Dalam Bab 7, kita mendefinisikan energi kinetik dari suatu obyek sebagai energi yang berkaitan dengan gerak dalam ruang. Sebuah objek berputar pada sumbu tetap, tetap diam di ruang angkasa, sehingga tidak ada energi kinetik yang berhubungan dengan gerakan translasi. Partikel individu yang membentuk objek berputar, bagaimanapun, bergerak melalui ruang, mereka mengikuti jalur melingkar. Akibatnya, ada energi kinetik yang terkait dengan gerak rotasi.
Mari kita perhatikan sebuah objek sebagai sistem partikel dan menganggap itu berputar pada sumbu tetap z dengan kecepatan sudut
w Gambar 10.7 menunjukkan obyek berputar dan mengidentifikasi satu partikel pada objek terletak pada jarak ri dari sumbu rotasi. Jika massa partikel i adalah mi dan kecepatan tangensial adalah vi, maka energi kinetik adalah:
Ki= ½ mivi2
Untuk melangkah lebih jauh, ingat bahwa meskipun setiap partikel dalam benda tegar memiliki kecepatan sudut w yang sama, kecepatan tangensial individu tergantung pada rijarak dari sumbu rotasi sesuai dengan Persamaan 10.10. Total energi kinetik dari objek berputar kaku adalah jumlah dari energi kinetik dari partikel individu:
KR= ∑ Ki = ∑ ½ mivi2 = ½ ∑ miri2 w2
Kita bisa menulis ungkapan ini dalam bentuk
KR = ½ ( ∑ mi ri2) w2 (10.14)
di mana kita memiliki
w2 diperhitungkan dari jumlah tersebut karena itu adalah umum untuk setiap partikel. Kita menyederhanakan ungkapan ini dengan mendefinisikan besaran dalam tanda kurung sebagai momen inersia I dari benda tegar:
I = ( ∑ mi ri2 ) (10,15)
Dari definisi momen inersia, kita melihat bahwa ia memiliki dimensi ML2 (kg.M2 dalam satuan SI). Dengan notasi ini, Persamaan 10.14 menjadi:
KR= Iw2 (10.16)
Meskipun biasanya kita merujuk pada Iw2 sebagai besaran energi kinetik rotasi, itu bukan bentuk energi baru. Ini adalah energi kinetik biasa karena berasal dari jumlah lebih energi kinetik individu partikel yang terkandung dalam benda tegar. Bentuk matematika dari energi kinetik yang diberikan oleh Persamaan 10.16 nyaman ketika kita berhadapan dengan gerak rotasi, asalkan kita tahu bagaimana menghitung I.
Adalah penting untuk mengenali analogi antara energi kinetik ½ mv2 terkait dengan gerak translasi dan energi kinetik rotasi Iw2. Besaran I dan w dalam gerak rotasi analog dengan m dan v dalam gerak translasi, untuk masing-masing. (Bahkan, saya mengambil tempat m dan v mengambil tempat v setiap kali kita membandingkan persamaan gerak translasi dengan gerak rotasi.) Momen inersia adalah ukuran dari perlawanan dari objek untuk perubahan gerak rotasi, seperti massa adalah ukuran kecenderungan suatu benda untuk melawan perubahan gerak translasinya. Untuk rotasi, resistensi ini tidak hanya bergantung pada massa benda, tetapi juga pada bagaimana massa didistribusikan di sekitar sumbu rotasi.
10.5 Perhitungan Momen Inersia
Momen inersia suatu sistem partikel diskrit dapat dihitung dengan cara yang mudah dengan Persamaan 10.15. Kita bisa mengevaluasi momen inersia benda tegar terus menerus dengan membayangkan obyek yang akan dibagi menjadi banyak elemen kecil, masing-masing memiliki massa ∆mi. Kita menggunakan definisi I= ∑iri2 ∆mi dan mengambil batas dari jumlah ini sebagai ∆mi → 0. Dalam batas ini, jumlahnya menjadi integral terhadap volume dari objek: (10.17)
Hal ini biasanya lebih mudah untuk menghitung momen inersia dalam hal volume elemen daripada massanya, dan kita dapat dengan mudah membuat perubahan itu dengan menggunakan Persamaan 1.1,
rº m/V, di mana r adalah densitas obyek dan V adalah volumenya. Dari persamaan ini, massa elemen kecil dm = r dV. Mengganti hasil ini ke dalam Persamaan 10.17 memberikan:
I = ∫ rr2 dV
Jika objek homogen,
r adalah konstan dan integral dapat dievaluasi untuk geometri yang dikenal. Jika r tidak konstan, variasi dengan posisi harus diketahui untuk menyelesaikan integrasi.
Kepadatan yang diberikan oleh
r= m/V kadang-kadang disebut sebagai kepadatan massa volumetrik karena itu merupakan massa per satuan volume. Seringkali kita menggunakan cara-cara lain untuk mengekspresikan kepadatan. Misalnya, ketika berhadapan dengan selembar seragam ketebalan t, kita dapat mendefinisikan kepadatan massa permukaan s =rt, yang merupakan massa per satuan luas. Akhirnya, ketika massa didistribusikan bersama tongkat luas penampang seragam A, kita kadang-kadang menggunakan massa jenis linier l=M/L = rA, yang merupakan massa per satuan panjang.
Tabel 10.2 memberikan momen inersia dari sejumlah objek tertentu. Momen inersia benda tegar dengan geometri sederhana (simetri tinggi) relatif mudah untuk menghitung, yang disediakan sumbu rotasi bertepatan dengan sumbu simetri, seperti pada contoh di bawah ini.
Perhitungan momen inersia suatu benda terhadap suatu sumbu sembarang bisa rumit, bahkan untuk objek yang sangat simetris. Untungnya, penggunaan Teorema penting, disebut teorema sumbu -paralel, seringkali menyederhanakan perhitungan.
Untuk menghasilkan teorema sumbu-paralel, misalkan obyek pada Gambar 10.11a berputar pada sumbu z. Momen inersia tidak tergantung pada bagaimana massa didistribusikan sepanjang sumbu z, seperti yang kita temukan dalam Contoh 10.5, momen inersia dari sebuah silinder adalah independen dari panjangnya. Bayangkan kepingan objek tiga dimensi menjadi objek planar seperti pada Gambar 10.11b. Dalam proses ini imajiner, semua massa bergerak sejajar dengan sumbu z sampai terletak pada bidang xy. Koordinat dari pusat massa benda sekarang XCM, YCM, dan ZCM = 0. Anggap elemen massa dm memiliki koordinat (x, y, 0) seperti yang ditunjukkan dalam tampilan bawah sumbu z pada Gambar 10.11c. Karena unsur ini adalah jarak dari sumbu z, momen inersia dari seluruh objek sekitar sumbu z:
I = ∫ r2 dm = ∫ (x2 + y2) dm
Kita dapat menghubungkan koordinat x, y dari elemen massa dm ke koordinat elemen ini yang sama terletak di sistem koordinat yang memiliki objek dengan pusat massa sebagai awalnya. Jika koordinat pusat massa adalah XCM, YCM, dan ZCM = 0 dalam sistem koordinat asal berpusat pada O, kita lihat dari Gambar 10.11c bahwa hubungan antara koordinat unprimed dan prima adalah x = x’ + XCM, y = Y’ + YCM, dan z = z’ = 0. Oleh karena itu,
Integral pertama adalah, menurut definisi, momen inersia ICM terhadap suatu sumbu yang sejajar dengan sumbu z dan melewati pusat massa. Kedua, dua integral adalah nol karena, menurut definisi dari pusat massa, ∫x’ dm = ∫y’ dm = 0. Integral terakhir adalah hanya MD2 karena ∫ dm = M dan D2= XCM2 + YCM2. Oleh karena itu, kita menyimpulkan bahwa
I = ICM + MD2 (10.18)
(Serway, 2010:284-289).
Tinggalkan komentar